(ysalaam.blogspot.com) Taubat tidak sekadar mengucapkan dengan
lidah, seperti dipahami oleh kalangan awam. Ketika salah seorang dari mereka
datang kepada seorang tokoh agama ia berkata kepadanya: "Pak kiyai, berilah
taubat kepada saya". Kiyai itu akan menjawab: "ikutilah perkataanku ini!": "aku
taubat kepada Allah SWT, aku kembali kepada-Nya, aku menyesali dosa yang telah
aku lakukan, dan aku berjanji untuk tidak melakukan maksiat lagi selamanya,
serta aku membebaskan diri dari seluruh agama selain agama
Islam".
Dan ketika ia telah mengikuti ucapan
kiyai itu dan pulang, ia menyangka bahwa ia telah selesai melakukan
taubat!.
Ini adalah bentuk kebodohan dua pihak
sekaligus: kebodohan orang awam itu, serta sang kiyai juga. Karena taubat bukan
sekadar ucapan dengan lidah saja, karena jika taubat hanya sekadar berbuat
seperti itu, alangkah mudahnya taubat itu.
Taubat adalah perkara yang lebih besar
dari itu, dan juga lebih dalam dan lebih sulit. Ungkapan lisan itu dituntut
setelah ia mewujudkannya dalam tindakannya. Untuk kemudian ia mengakui dosanya
dan meminta ampunan kepada Allah SWT. Sedangkan sekadar istighfar atau
mengungkapkan taubat dengan lisan --tanpa janji dalam hati-- itu adalah taubat
para pendusta, seperti dikatakan oleh Dzun Nun al Mishri. Itulah yang dikatakan
oleh Sayyidah Rabi'ah al 'Adawiyah: "istighfar kita membutuhkan istighfar lagi!"
Hingga sebagian mereka ada yang berkata: "aku beristighfar kepada Allah SWT dari
ucapanku: 'aku beristighfar kepada Allah SWT'". Atau taubat yang hanya dengan
lisan, tidak disertai dengan penyesalan dalam hati!
Sementara hakikat taubat adalah
perbuatan akal, hati dan tubuh sekaligus. Dimulai dengan perbuatan akal, diikuti
oleh perbuatan hati, dan menghasilkan perbuatan tubuh. Oleh karena itu, al Hasan
berkata: "ia adalah penyesalan dengan hati, istighfar dengan lisan, meninggalkan
perbuatan dosa dengan tubuh, dan berjanji untuk tidak akan mengerjakan perbuatan
dosa itu lagi."
Taubat Seperti Dijelaskan oleh Al Ghazali
Taubat seperti dijelaskan oleh Imam
Ghazali dalam kitabnya "Ihya ulumuddin" adalah sebuah makna yang terdiri dari
tiga unsur: ilmu, hal dan amal. Ilmu adalah unsur yang pertama, kemudian yang
kedua hal, dan ketiga amal.
Ia berkata: yang pertama mewajibkan yang
kedua, dan yang kedua mewajibkan yang ketiga. Berlangsung sesuai dengan hukum
(ketentuan) Allah SWT yang berlangsung dalam kerajaan dan
malakut-Nya.
Ia berkata: "Sedangkan ilmu adalah,
mengetahui besarnya bahaya dosa, dan ia adalah penghalang antara hamba dan
seluruh yang ia senangi. Jika ia telah mengetahui itu dengan yakin dan sepenuh
hati, pengetahuannya itu akan berpengaruh dalam hatinya dan ia merasakan
kepedihan karena kehilangan yang dia cintai. Karena hati, ketika ia merasakan
hilangnya yang dia cintai, ia akan merasakan kepedihan, dan jika kehilangan itu
diakibatkan oleh perbuatannya, niscaya ia akan menyesali perbuatannya itu. Dan
perasaan pedih kehilangan yang dia cintai itu dinamakan penyesalan. Jika
perasaan pedih itu demikian kuat berpengaruh dalam hatinya dan menguasai
hatinya, maka perasaan itu akan mendorong timbulnya perasaan lain, yaitu tekad
dan kemauan untuk mengerjakan apa yang seharusnya pada saat ini, kemarin dan
akan datang. Tindakan yang ia lakukan saat ini adalah meninggalkan dosa yang
menyelimutinya, dan terhadap masa depannya adalah dengan bertekad untuk
meninggalkan dosa yang mengakibatkannya kehilangan yang dia cintai hingga
sepanjang masa. Sedangkan masa lalunya adalah dengan menebus apa yang ia lakukan
sebelumnya, jika dapat ditebus, atau menggantinya.
Yang pertama adalah ilmu. Dialah pangkal
pertama seluruh kebaikan ini. Yang aku maksudkan dengan ilmu ini adalah keimanan
dan keyakinan. Karena iman bermakna pembenaran bahwa dosa adalah racun yang
menghancurkan. Sedangkan yakin adalah penegasan pembenaran ini, tidak
meragukannya serta memenuhi hatinya. Maka cahaya iman dalam hati ini ketika
bersinar akan membuahkan api penyesalan, sehingga hati merasakan kepedihan.
Karena dengan cahaya iman itu ia dapat melihat bahwa saat ini, karena dosanya
itu, ia terhalang dari yang dia cintai. Seperti orang yang diterangi cahaya
matahari, ketika ia berada dalam kegelapan, maka cahaya itu menghilangkan
penghalang penglihatannya sehingga ia dapat melihat yang dia cintai. Dan ketika
ia menyadari ia hampir binasa, maka cahaya cinta dalam hatinya bergejolak, dan
api ini membangkitkan kekuatannya untuk menyelamatkan dirinya serta mengejar
yang dia cintai itu.
Ilmu dan penyesalan, serta tekad untuk
meninggalkan perbuatan dosa saat ini dan masa akan datang, serta berusaha
menutupi perbuatan masa lalu mempunyai tiga makna yang berkaitan dengan
pencapaiannya itu. Secara keseluruhan dinamakan taubat. Banyak pula taubat itu
disebut dengan makna penyesalan saja. Ilmu akan dosa itu dijadikan sebagai
permulaan, sedangkan meninggalkan perbuatan dosa itu sebagai buah dan
konsekwensi dari ilmu itu. Dari itu dapat dipahami sabda Rasulullah Saw : "
Penyesalan adalah taubat" (Hafizh al 'Iraqi dalam takhrij hadits-hadits Ihya
Ulumuddin berkata: hadits ini ditakhrijkan oleh Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan al
Hakim. Serta ia mensahihkan sanadnya dari hadits Ibnu Mas'ud. Dan diriwayakan
pula oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim dari hadits Anas r.a. dan ia berkata: hadits
ini sahih atas syarat Bukhari dan Muslim), karena penyesalan itu dapat terjadi
dari ilmu yang mewajibkan serta membuahkan penyesalan itu, dan tekad untuk
meninggalkan dosa sebagai konsekwensinya. Maka penyesalan itu dipelihara dengan
dua cabangnya, yaitu buahnya dan apa yang membuahkannya." (Ihya Ulumuddin (4:
3,4), cetakan: Darul Ma'rifah, Beirut).
0 komentar:
Posting Komentar